You are viewing the Bahasa translation of this post. View the English version here.
Belum lama ini saya bertemu seorang pejabat eksekutif dari salah satu daerah Kenya. Berkas informasi yang dimiliki daerah tersebut berisi tentang Kebakaran, Bencana Alam, dan Partisipasi Masyarakat. Istilah “partisipasi” yang bersanding dengan “bencana alam” ini menimbulkan gelak tawa di ruangan tersebut dan tampaknya mencerminkan sikap mengenai partisipasi banyak pejabat pemerintah Kenya. Saat ini anggapan hampir semua orang di Kenya tentang konsep partisipasi masyarakat memang diwarnai rasa curiga. Politisi menganggapnya sebagai alat oposisi, pemerintah daerah menganggapnya sebagai mandat tanpa dana, dan masyarakat menganggapnya sebagai hal memalukan yang asal-asalan saja. Meskipun semua orang ingin berpartisipasi, tidak seorang pun senang melakukannya.
Partisipasi masyarakat dipertahankan dalam konstitusi Kenya tahun 2010 dan selama ini banyak perdebatan mengenai artinya dalam tindakan, khususnya bila terkait anggaran. Tapi bukan hanya bangsa Kenya yang mencari cara yang memuaskan bagi pemerintah dan masyarakat untuk berpartisipasi dalam anggaran. Seluruh dunia semakin berminat untuk lebih mengefektifkan partisipasi masyarakat dalam menyusun anggaran.
Mengapa sulit sekali melakukan partisipasi dengan benar?

Bersama rekan saya, Mokeira Nyagaka, belum lama ini saya menerbitkan makalah yang menyajikan berbagai cara memikirkan partisipasi anggaran, berdasarkan tantangan-tantangan yang muncul di Kenya. Kami berpendapat bahwa istilah partisipasi masyarakat sudah hilang maknanya dalam hal pembuatan anggaran, dan perlu ada standar lebih baik untuk memenuhi janji-janjinya. Standar yang kami perkenalkan adalah musyawarah masyarakat. Mungkin tampaknya seperti sulap bahasa, tapi kami berusaha menunjukkan bahwa sebenarnya musyawarah masyarakat memberikan pedoman yang lebih konkret tentang cara menyusun dokumen anggaran dan diskusi anggaran.
Musyawarah Anggaran Dalam Konsep
Konsep musyawarah masyarakat kita berakar pada teori demokrasi deliberatif dan filsafat moral. Tradisi ini membuat pembenaran publik di berada di pusat pemerintahan modern. Menurut teori ini, pengambilan keputusan adalah pemikiran masyarakat tentang pilihan. Proses musyawarah dimulai dari usulan pemerintah yang dibenarkan menurut kepentingan masyarakat (bukan pribadi). Pembenaran ini harus dianggap wajar (berakar pada alasan yang masuk akal) bahkan bila orang lain tidak setuju, dan harus bisa berubah setelah didiskusikan. Gagasan ini lahir dari tulisan filsuf seperti John Rawls dan Amartya Sen. Menurut mereka, kewajaran adalah apa yang kita yakini bila mengesampingkan kepentingan pribadi, atau apa yang dianggap wajar oleh pengamat yang netral dalam mengambil keputusan tanpa risiko.
Aliran pemikiran ini menunjukkan bahwa pemimpin tidak bertanggung jawab untuk menentukan pilihan yang “tepat”, tapi bertanggung jawab untuk kualitas alasan yang mereka berikan. Masyarakat juga harus terlibat dengan alasan ini dalam pikiran yang luas dan mengusulkan alasan alternatif bila tidak setuju, bukan hanya alternatif pilihan.
Partisipasi dibanding Musyawarah
Persyaratan ini mungkin tampak sederhana, tapi banyak tindakan partisipasi masyarakat mengalami kegagalan. Pertimbangkan skenario yang terkenal mengenai Kenya. Anggota masyarakat Kenya diundang menghadiri pertemuan massal. Mereka hanya diberi sedikit informasi atau tidak sama sekali mengenai usulan pemerintah. Tapi mereka diminta membuat daftar “proyek” yang mereka inginkan di lingkungan atau daerah mereka. Pemerintah mencatat semua usulan proyek dari seluruh daerah lalu memutuskan mana yang akan dilaksanakan. Setidaknya sebagian proyek yang disukai masyarakat itu dibuat perencanannya, dan sebagian di antaranya akhirnya dimasukkan dalam anggaran tahunan.
Kasus seperti ini dianggap berhasil menurut standar partisipasi masyarakat yang berlaku saat ini— masukan dari masyarakat telah diperhitungkan dan berhasil mempengaruhi keputusan pembelanjaan pemerintah. Tapi masukan masyarakat tidak akan memenuhi standar musyawarah masyarakat. Mengapa tidak?
Pertama, tindakan ini tidak dimulai dengan usulan pemerintah atau sederetan alternatif yang dipertimbangkan masak-masak, jadi masyarakat tidak memberikan pendapat berdasarkan informasi. Tanpa keterbatasan anggaran dan/atau sederetan tujuan, partisipasi masyarakat hanya terbatas pada pembuatan daftar usulan yang diinginkan, bukannya mempermudah pengambilan keputusan anggaran yang masuk akal.
Kedua, anggota masyarakat itu tidak diminta memberikan alasan atau membicarakan alasan usulan mereka, jadi usulan mereka bukan berdasarkan pertimbangan yang matang dan masuk akal. Meskipun masyarakat telah berpartisipasi, mereka tidak memusyawarahkan atau mempertimbangkan semua manfaat relatif yang terdapat dalam usulan yang berlainan.
Ketiga, dalam menyusun rencana atau anggaran, saat itu pemerintah mau tidak mau menerima beberapa usulan masyarakat, tapi tidak semua . Apakah semua usulan itu diterima atau ditolak berdasarkan nilai hakikinya, keterbatasan sumber daya, atau karena alasan lain secara keseluruhan? Kecuali ada alasan yang diberikan, ini tidak bisa disebut proses musyawarah. Pemerintah Kenya biasa menyatakan bahwa rencana dan anggaran mendapat informasi dari partisipasi masyarakat; tapi pemerintah Kenya amat sangat jarang memberi penjelasan mengapa hanya masukan tertentu dari masyarakat yang akhirnya dipertimbangkan.
Ditambah adanya proses yang tidak memiliki nilai pendidikan dalam musyawarah, sehingga memperhadapkan masyarakat pada alasan yang berlawanan untuk mencapai kompromi, di samping menyebabkan preferensi masyarakat pasti menjadi perdebatan dan dihakimi dibandingkan dengan kepentingan masyarakat yang lebih luas. Tapi mungkin yang paling dirugikan adalah legitimasi pemerintah. Legitimasi pemerintah demokratis hanya berdasarkan pada dukungan yang luas terhadap kebijakan mereka. Musyawarah masyarakat memberi kesempatan untuk mendasarkan kebijakan publik dalam pembenaran yang mungkin tidak disetujui masyarakat, tapi pada akhirnya harus mereka hormati. Keputusan yang lahir dari proses terbuka dan berdasarkan alasan yang masuk akal dapat mengurangi persepsi bahwa pemerintah mengambil keputusan dengan sewenang-wenang sekaligus mendatangkan dukungan bagi administrasi publik. Seperti yang sedang berlaku di Kenya, partisipasi masyarakat tidak menimbulkan kepercayaan pada keputusan pemerintah maupun menghasilkan masyarakat yang kaya informasi. Musyawarah masyarakat — dan semua standar maupun tindakan yang dibutuhkannya— mungkin dapat membantu mewujudkan kedua hal di atas.
0 Comments